CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Kamis, 19 Mei 2011

Organisasi Wanita

Dalam masa pertama dari pergerakan Indonesia, pergerakan wanita hanya berjuang untuk mempertinggi kedudukan sosial. Masalah politik seperti hak-pemilihan-sama tidak menjadi perundingan, sebab kaum laki-laki pun tidak mempunyainya, mengenai kemerdekaan tanah air sama sekali masih jauh daripadanya. Faham tentang budi pekerti, keagamaan dan adat, masih menjadi rintangan terbesar baginya untuk dapat bertindak ke arah lebih jauh daripada apa yang dekat-dekat terletak di depannya saja. Sebab pertama yang mendorong bergerak adalah faham-faham tentang kedudukan wanita di dalam perkawinan dan keluarga. Sebab yang lain, yaitu terjadinya kawin paksa (perempuan banyak yang dikawinkan dengan suami yang belum pernah dilihatnya, atau sudah pernah dilihat tetapi belum dikenal; poligami (dulu boleh dikatakan biasa saja seorang laki-laki beristri lebih dari seorang dan diam dalam satu rumah pula); kekuasaan tidak terbatas dari kaum laki-laki dalam perkawinan (seorang laki-laki dengan begitu saja sewaktu-waktu boleh menveraikan istrinya, tidak perlu mengatakan sebab-sebabnya dan tidak ada beban kewajiban untuk menyokong istri yang diceraikan); adat kebiasaan tetap tinggal di rumah (gadis-gadis sejak mulai menginjak waktu dewasa tidak boleh meninggalkan rumah). Inilah sebab-sebab yang dalam masa pertama menggerakkan wanita dari lapisan atas (Pringgodigdo, 1980:19-20).

Gagasan tentang kemajuan menjadi pemikiran pokok R.A. Kartini (1879-1904), karena sebab-sebab yang telah disebutkan diatas juga pernah dialami oleh R.A. Kartini, seperti yang dicerminkan dalam surat-surat pribadinya. Bahwa ia dilarang keluar rumah dan dikawinkan dengan orang yang belum dikenalnya. Perjuangan emansipasi yang telah dilakukan oleh R.A. Kartini sebenarnya tidak ditujukan untuk kepentingan wanita saja. Apabila dikaji lebih jauh, sebenarnya dengan kemajuan kaum wanita itu juga mengarah kepada kemajuan bangsa. Bahkan Kartini telah berangan-angan untuk menyadarkan bangsanya dari kehidupan yang gelap, artinya masih dalam cengkeraman penjajah, agar segera bangkit untuk menuju kehidupan yang terang, yang berarti membangun bangsa dalam situasi negara merdeka.
Hal itu juga telah disebutkan oleh Susanto Tirtoprodjo, yang berbunyi sebagai berikut.
“Bahwa ibu Kartini sudah memasukkan dalam angan-angannya nationaal bewustzjin (kesadaran berbangsa) … alangkah besar bedanya bagi masyarakat Indonesia bila kaum perempuan dididik baik-baik. Dan untuk keperluan perempuan itu sendiri berharaplah kami dengan harapan yang sangat supaya disediakan pelajaran dan dididikan. Karena inilah yang akan membawa bahagia baginya.” (Armin Pane, 1968:112; Sudiyo, 2004:54).
Cita-cita Kartini makin tersebar dan wanita-wanita Indonesia lain mulai bergerak untuk maksud yang sama: pengajaran untuk anak-anak perempuan; pendidikan dan pengajaran untuk memprtinggi derajat sosial, dan untuk menambah kecakapannya sebagai ibu dan sebagai pemegang rumah tangga. Usaha pertamanya adalah mendirikan sebuah kelas kecil bagi kepentingan gadis-gadis, yang diselenggarakan empat kali seminggu.
Organisasi wanita sudah ada sejak 1912, diilhami oleh perjuangan para pahlawan wanita abad ke-19 seperti M. Christina Tiahahu, Cut Nya Dien, Cut Mutiah, R.A. Kartini, Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Achmad Dahlan, Rangkayo Rasuna Said dan lain-lain. Peristiwa itu dianggap sebagai salah satu tonggak penting sejarah perjuangan kaum perempuan Indonesia. Pemimpin organisasi perempuan dari berbagai wilayah se-Nusantara berkumpul menyatukan pikiran dan semangat untuk berjuang menuju kemerdekaan dan perbaikan nasib kaum perempuan. Berbagai isu yang saat itu dipikirkan untuk digarap adalah persatuan perempuan Nusantara; pelibatan perempuan dalam perjuangan melawan kemerdekaan; pelibatan perempuan dalam berbagai aspek pembangunan bangsa; perdagangan anak-anak dan kaum perempuan; perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita; pernikahan usia dini bagi perempuan, dan sebagainya. Tanpa diwarnai gembar-gembor kesetaraan jender, para pejuang perempuan itu melakukan pemikiran kritis dan aneka upaya yang amat penting bagi kemajuan bangsa.
Secara tipologis ada dua jenis organisasi wanita pada masa awal abad XX, yakni organisasi lokal kedaerahan dan organisasi keagamaan. Puteri Merdika merupakan organisasi keputrian yang merupakan bagian dari Boedi Oetomo. Organisasi wanita ini dibentuk pada tahun 1912; empat tahun setelah lahirnya Boedi Oetomo. Tujuan organisasi ini adalah memberikan bantuan, bimbingan, dan penerangan pada gadis pribumi dalam menuntut pelajaran dan dalam menyatakan pendapat di muka umum. Untuk mencapai tujuan memperbaiki hidup wanita, Putri Merdika memberikan beasiswa dan menerbitkan majalah bulanan. Tokoh-tokohnya adalah R.A. Sabarudin, sutinah Joyopranoto, R.R. Rukmini, dan Sadikun Tondokusumo. Dalam tahun yang sama, lahir pula Kartinifonds (Dana Kartini), didirikan oleh Tuan dan Nyonya C. Th. Van deventer (seorang penganjur politik etis), yang bertujuan untuk mendirikan sekolah-sekolah ”Kartini”(Poeponegoro & Notosutanto, 1993:241). Sekolah pertama didirikan di Semrang (1913), kemudian di Madiun (1914), Malang dan Cirebon (1916), Pekalongan (1917), Indramayu (1918), Surabaya dan Rembang. Organisasi-organisasi ini berkembang secara pesat, bertujuan memperbaiki kedudukan sosial dalam perkawinan dan keluarga, serta peningkatan kecakapan sebagai ibu dan pengatur rumah tangga dengan jalan pendidikan dan pengajaran. Mengenai keterampilan khusus wanita, juga mendapat perhatian secara baik, terutama jahit-menjahit, menenun, dan merawat kesehatan anak.
Setelah berdiri organisasi wanita tersebut, ternyata di daerah-daerah lain juga berdiri organisasi wanita dengan tujuan yang sama. Diantara organisasi-organisasi wanita di daerah itu, yang tampak menonjol ialah ”Kautaman Istri” di Tasikmalaya didirikan tahun 1913 dan kemudian diikuti ”Kautaman Istri” di Sumedang (1916), Ciamis (1917), Cicurug (1918), Kuningan (1922), dan Sukabumi (1926).  Kalau di Jawa Barat, muncul Dewi Sartika sebagai tokoh wanita yang banyak mengikuti jejak R.A. Kartini, tidak ketinggalan Rahanah Kudus (mendirikan Kerajinan Amai Setia ”KAS”) tahun 1914 di Sumatera Barat.
Sejak tahun 1917, mulai berdiri organisasi politik dan tidak ketinggalan pula wanita ikut terjun dalam perjuangan menuju cita-cita Indonesia Merdeka. Oleh karena itu banyak berdiri organisasi wanita yang mengarah ke perjuangan di bidang politik. Seperti Sarekat Siti Fatimah di Garut, berdiri pada tahun 1918, yang merupakan bagian dari Sarekat Islam, Wanodyo Utomo, di Yogyakarta berdiri pada tahun 1920, yang akhirnya menjadi Sarekat Putri Islam (1925). Pada tahuun 1920 berdiri ”Gorontalosche Mohameddansche Sumatra” di Bukit Tinggi dan Nadhatul Fa’at sebagai bagian dari Wal Fadjri. Tidak kalah pentingnya, pada tanggal 22 April 1917 Perguruan Muhammadiyah mendirikan ”Aisyiyah” di Yogyakarta dan 8 Juli 1921 didirikan ”PIKAT” (Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya) oleh Maria Walanda Maramis di Manado. Pada tahun 1921 di Yogyakarta didirikan ”Wanito Utomo” dan tahun 1924 didirikan ”Wanita Katholik” juga di kota tersebut.
Pergerakan wanita Indonesia antara tahun 1920-1927, mulai tegas, bahkan ada yang ingin melangkah ke arah pergerakan politik, seperti Ina Tuni (organisasi bagian dari Saerkat ambon yang bergerak dalam bidang kemiliteran dan politik, berdiri tahun 1927) dan pergerakan wanita yang merupakan bagian dari partai politik, yaitu PSI, PKI, PNI, dan Permi (Persatuan Muslimin Indonesia). Sedangkan yang tetap bergerak dalam bidang sosia-budaya, yaitu JJM (Jong Java Meinjeskring), WTS (Wanita Taman Siswa), JIBDA (Jong Islamiten Bond Dames Afdeeling) dan Putri Indonesia. Kemudian menjelang Sumpah Pemuda, yakni tahun 1928 berdiri ”Perti” (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) dan DHE (Dameskransje Help Elkander) di Jakarta, kemudian berubah nama menjadi organisasi wanita Sehati.Disamping itu juga berdiri ”Putri Setia” di Manado.
Sejalan dengan pergerakan pemuda, maka setelah terjadinya Kongres Pemuda Kedua, para kaum wanita juga mengadakan suatu Kongres Perempuan Indonesia I pada tanggal 22-25 Desember 1928 di Pendopo Joyodipuran, Yogyakarta. Yang diketuai oleh Ny. R.A. Sukonto dari Wanito Utomo. Sedangkan yang hadir dalam Kongres Perempuan Indonesia I terdiri dari wakil-wakil organisasi. Kongres mempunyai maksud dan tujuan sebagai berikut:
1.      Supaya menjadi pertalian antara perkumpulan-perkumpulan wanita Indonesia.
2.      Supaya dapat bersama-sama membicarakan soal-soal kewajiban keperluan dan kemajuan wanita.
Keputusan-keputusan kongres, sebagai berikut:
1.      Mendirikan badan federasi bersama, bernama PPPI (Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia).
2.      Menerbitkan surat kabar yang redaksinya dipercayakan kepada PPPI.
3.      Mendirikan Studiefonds, untuk menolong gadis-gadis yang tidak mampu.
4.      Memprkuat pendidikan kepanduan putri,
5.      Mencegah perkawinan anak-anak.
6.      Mengirimkan mosi kepada pemerintah agar:
                                                        i.            Secepatnya mosi diadakan fonds bagi janda dan anak-anak.
                                                      ii.            Tunjangan pensiun (onderstand) jangan dicabut,
                                                    iii.            Sekolah putri siperbanyak.
Setelah terjadi Kongers Perempuan Indonesia I itu, kegiatan selanjutnya secara rutin dapat berjalan dengan baik. Hubungan antar organisasi dipererat, terutama kegiatan PPPI yang merupakan wadah dari organisasi gabungan itu, memiliki fungsi dan peranan sangat besar. Hal ini tampak dalam membahas untuk persiapan Kongres Perempuan Indonesia II, sudah mengarah kepada tujuan dan sasaran yang lebih tegas. Dalam persiapan Kongres Perempuan Indonesia II, dijelaskan tentang maksud Kongers adalah:
Ø  Merapatkan persaudaraan antara organisasi-organisasi wanita Indonesia untuk memperbaiki nasib kaum wanita Indonesia dan rakyat Indonesia umumnya.
Sedangkan dasar kongres adalah sebagai berikut:
·         Kenasionalan, kesosialan, kenetralan, dan keperempuanan.
Pada tanggal 20-24 Juli 1935 berhasil menyelenggarakan Kongres Perempuan Indonesia II di Jakarta. Keputusan-keputusan dalam kongres tersebut mengenai berikut:
1.      Dibentuk badan perikatan dengan nama ”Kongres Perempuan Indonesia” (tahun 2004 disebut Kowani).
2.      Tiap-tiap tiga tahun sekali diadakan Kongres Perempuan (sampai tahun 2004 tetap dipakai sebagai pedoman Kowani.
3.      Perancangan tentang kewajiban semua wanita Indonesia ialah menjadi ”Ibu Bangsa”, yang berarti berusaha menumbuhkan generasi baru yang lebih sadar akan kebangsaannya.
Dengan demikian jelas bahwa pada saat pemerintah Hindia Belanda menghadapi kesulitan ekonomi, karena tahun 1929-1933 sedang terjadi krisis ekonomi dunia, maka perhatian pemerintah di bidang ekonomi lebih besar. Sebaliknya perhatian pemerintah di bidang politik rendah. Kaum wanita mendapat kebebasan, sedangkan kaum pria lebih ditekan. Sikap Gubernur Jenderal De Jonge terhadap pergerakan nasional sangat kejam, karena dianggapnya semua dilakukan oleh kaum pergerakan nasional hanya akan mengganggu usaha pemerintah untuk mengatasi kesulitan ekonomi.
Melihat perlakuan pemerintah yang demikian itu, kaum wanita juga mengubah taktik perjuangannya. Yaitu dengan cara ikut mendukung aksi kaum pergerakan nasional, baik yang dilancarkan dalam mosi Soetardjo (1936) dan tuntutan GAPI (1939) tentang ”Indonesia Berparlemen”. Hal itu sudah tampak pada Kongers Perempuan III di Bandung, yang berlangsung tanggal 23 – 28 Juli 1938, dipimpin oleh Ny. Emma Puradireja. Kongres ini membicarakan tentang:
1.      Undang-undang perkawinan modern.
2.      Soal politik kaitannya hak pilih dan dipilih bagi kaum wanita untuk posisi Badan Perwakilan (Volksraad).
3.      Tanggal 22 Desember untuk disepakati diperingati sebagai hari Ibu.

DAFTAR PUSTAKA

Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosutanto.1993. Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka.
Pringgodigdo,A.K. 1980.Sejarah Pergerakan Rakyat. Jakarta: PT. Dian rakyat.
Sudiyo. 2004.  Pergerakan Nasional Mencapai dan Mempertahankan Kemerdekaan. Jakarta: Rineka Cipta.
Suhartono. 2001. Sejarah Pergerakan Nasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Utomo, C.B. 1995. Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia dari Kebangkitan Indonesia hingga Kemerdekaan. Semarang: IKIP Semarang Press.

0 komentar: