CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Kamis, 23 Juni 2011

Ideologi Fasisme (Book Review)

A.    LATAR BELAKANG
Fasisme dikenal sebagai ideologi yang lahir dan berkembang subur pada abad ke-20. Ia menyebar dengan pesat di seluruh dunia pada permulaan Perang Dunia I, dengan berkuasanya rezim fasis di Jerman dan Italia pada khususnya, tetapi juga di negara-negara seperti Yunani, Spanyol, dan Jepang, di mana rakyat sangat menderita oleh cara-cara pemerintah yang penuh kekerasan. Berhadapan dengan tekanan dan kekerasan ini, mereka hanya dapat gemetar ketakutan. Diktator fasis dan pemerintahannya yang memimpin sistem semacam itu di mana kekuatan yang brutal, agresi, pertumpahan darah, dan kekerasan menjadi hukum mengirimkan gelombang teror ke seluruh rakyat melalui polisi rahasia dan milisi fasis mereka, yang melumpuhkan rakyat dengan rasa takut. Lebih jauh lagi, pemerintahan fasis diterapkan dalam hampir semua tingkatan kemasyarakatan, dari pendidikan hingga budaya, agama hingga seni, struktur pemerintah hingga sistem militer, dan dari organisasi politik hingga kehidupan pribadi rakyatnya. Pada akhirnya, Perang Dunia II, yang dimulai oleh kaum fasis, merupakan salah satu malapetaka terbesar dalam sejarah umat manusia, yang merenggut nyawa 55 juta orang.
Namun, ideologi fasisme tidak hanya ada dalam buku-buku sejarah. Meski saat ini tidak ada satu negara pun yang menyebut diri sebagai fasis atau secara terbuka mempraktikkan fasisme, di berbagai negara di dunia terdapat banyak pemerintahan, kelompok dan partai politik yang mengikuti pola-pola fasistik. Walaupun nama dan taktiknya telah berubah, mereka masih terus menimpakan kesengsaraan serupa pada rakyat. Berkemungkinan pula, kemerosotan kondisi sosial dapat membuat dukungan terhadap fasisme makin berkembang. Karenanya, fasisme terus-menerus menjadi ancaman bagi kemanusiaan.
B.    SEJARAH DAN PERKEMBANGAN IDEOLOGI FASISME
Fasisme adalah sebuah gerakan politik penindasan yang pertama kali berkembang di Italia setelah tahun 1919 dan kemudian di berbagai negara di Eropa, sebagai reaksi atas perubahan sosial politik akibat Perang Dunia I. Nama fasisme berasal dari kata Latin ‘fasces’, artinya kumpulan tangkai yang diikatkan kepada sebuah kapak, yang melambangkan pemerintahan di Romawi kuno. Istilah “fasisme” pertama kali digunakan di Italia oleh pemerintahan yang berkuasa tahun 1922-1924 pimpinan Benito Mussolini. Dan gambar tangkai-tangkai yang diikatkan pada kapak menjadi lambang partai fasis pertama. Setelah Italia, pemerintahan fasis kemudian berkuasa di Jerman dari 1933 hingga 1945, dan di Spanyol dari 1939 hingga 1975. Setelah Perang Dunia II, rezim-rezim diktatoris yang muncul di Amerika Selatan dan negara-negara belum berkembang lain umumnya digambarkan sebagai fasis.
Untuk memahami falsafah fasisme, kita dapat cermati deskripsi yang ditulis Mussolini untuk Ensiklopedi Italia pada tahun 1932: Fasisme, semakin ia mempertimbangkan dan mengamati masa depan dan perkembangan kemanusiaan secara terpisah dari berbagai pertimbangan politis saat ini, semakin ia tidak mempercayai kemungkinan ataupun manfaat dari perdamaian yang abadi. Dengan begitu ia tak mengakui doktrin Pasifisme yang lahir dari penolakan atas perjuangan dan suatu tindakan pengecut di hadapan pengorbanan. Peranglah satu-satunya yang akan membawa seluruh energi manusia ke tingkatnya yang tertinggi dan membubuhkan cap kebangsawanan kepada orang-orang yang berani menghadapinya. Semua percobaan lain adalah cadangan, yang tidak akan pernah benar-benar menempatkan manusia ke dalam posisi di mana mereka harus membuat keputusan besar–pilihan antara hidup atau mati…. (Kaum Fasis) memahami hidup sebagai tugas dan perjuangan dan penaklukan, tetapi di atas semua untuk orang lain–mereka yang bersama dan mereka yang jauh, yang sejaman, dan mereka yang akan datang setelahnya.Jelaslah sebagaimana ditekankan Mussolini, gagasan utama di balik fasisme adalah ide Darwinis mengenai konflik dan perang. Sebab, sebagaimana kita bahas dalam prakata, Darwinisme menegaskan bahwa “yang kuat bertahan hidup, yang lemah punah”, yang karenanya berpandangan bahwa manusia harus berada dalam perjuangan terus-menerus untuk dapat bertahan hidup. Karena dikembangkan dari gagasan ini, Fasisme membangkitkan kepercayaan bahwa suatu bangsa hanya dapat maju melalui perang, dan memandang perdamaian sebagai bagian yang memperlambat kemajuan. Garis pemikiran serupa diungkapkan oleh Vladimir Jabotinsky, yang dikenal luas sebagai wakil terpenting Yahudi Zionis, dan pendukung hak radikal Israel, yang menyimpulkan ideologi fasistik dalam pernyataannya pada tahun 1930-an:

Sebagaimana tampak jelas dari kata-kata tersebut, dan sebagaimana akan kita bahas lebih rinci pada halaman-halaman berikutnya, fasisme sesungguhnya merupakan ideologi yang dibangun menurut “hukum rimba” yang dikembangkan oleh Darwinisme. Ciri lainnya untuk diingat adalah bahwa fasisme merupakan ideologi nasionalistik dan agresif yang didasarkan pada rasisme. Nasionalisme semacam ini sama sekali berbeda dari sekadar kecintaan pada negara. Dalam nasionalisme agresif pada fasisme, seseorang mencita-citakan bangsanya menguasai bangsa-bangsa lain, menghinakan mereka, dan tidak menyesali timbulnya penderitaan hebat terhadap rakyatnya sendiri dalam prosesnya. Selain itu, nasionalisme fasistik menggunakan peperangan, pendudukan, pembantaian, dan pertumpahan darah sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan politis tersebut.
Sebagaimana halnya yang mereka lakukan untuk menguasai bangsa-bangsa lain, rezim fasis juga menggunakan kekuatan dan penindasan terhadap bangsa mereka sendiri. Dasar kebijakan sosial fasisme adalah pemaksaan gagasan, dan keharusan rakyat menerimanya. Fasisme bertujuan membuat individu dan masyarakat berpikir dan bertindak seragam. Untuk mencapai tujuan ini, fasisme menggunakan kekuatan dan kekerasan bersama semua metode propaganda. Fasisme menyatakan siapa pun yang tidak mengikuti gagasan-gagasannya sebagai musuh, bahkan sampai melakukan genocide (pemusnahan secara teratur terhadap suatu golongan atau bangsa), seperti dalam kasus Nazi Jerman.
Ada dua cara melihat sistem dan perkembangan fasisme. Pertama, adalah suatu pendekatan idealis. Dalam pendekatan idealis, fasisme dilihat sebagai suatu perangkat ide. Ketika Roger Griffith mengatakan tentang “the role of ideology in the definition and dynamics of facism”. Griffith memberikan apa yang disebut sebagai “fascist minimum”, persyaratan minimum untuk menyebut sesuatu itu fasisme. Ada suatu asumsi dasar di sana, dalam paham idealis, bahwa semuanya berpijak pada apa yang disebut sebagai teras mitis, the mythic core, yang menjadi basis di atas mana bentuk umum, generic form, fasisme berpijak.
Sepuluh hal disebut sebagai fascist minimum; 1. Fascism is anti-liberal, menolak paham liberal, seperti otonomi dan kemerdekaan pribadi. Terpusatnya pikiran untuk membangun masyarakat baru fasisme menolak liberalisme seperti paham pluralisme, toleransi, individualisme, gradualisme, demokrasi parlementer; 2. Fascism is anti-conservative, obsesinya terhadap suatu orde baru membuatnya menolak politik konservatif seperti sistem kekuasaan turum-temurun, termasuk juga paham yang hanya untuk memulihkan keamanan dan ketertiban, tanpa membangun identitas baru dalam orde baru; 3. Fascism tends to operate as a charismatic form of politics, ini tidak dengan sendirinya berarti leader cult, karena ada juga fasisme yang mencari model teknokratik; 4. Fascism is anti-rational, dalam arti bukan “akal yang menguasai segalanya, bukan humanisme, akan tetapi perilaku heroik, heroic action, yang menuntut pengorbanan; 5. Fascist ‘socialism’, menganut sosialisme dalam pengertian ekonomi korporatis, perencanaan skonomi; 6. Fascism’s links to totalitarianism, dalam pengertian mengatur suatu masyarakat homogin, seragam, masyarakat yang bisa dan harus diatur dalam segala hal; 7. The Heterogeneity of fascism’s social support, tidak ada dukungan yang berasal dari kelas tertentu, akan tetapi gabungan dari segala golongan kiri dan golongan kanan; 8. Fascism racism, pada dasarnya fasisme terikat kuat dengan suatu dasar rasisme, karena paham ultra nasionalisme memuja identitas; 9. Fascist internasionalism, membentuk suatu semangat internasionalisme sendiri, dengan suatu karakter khas dalam identitas, seperti internasionalisme eropa, yang menjadi nasionalisme eropa.; 10. Fascist eclectism, dari dalamnya sifatnya sudah siakretik, dalam arti mencampur baur segala jenis ide dalam suatu kesatuan yang longgar, akan tetapi dengan suatu ide jelas membangun suatu orde baru (Dhakidae, 2003:240).
Dari beberapa hal yang dikemukan tentang persyaratan minimum tersebut bisa diangkat kembali disini. Pertama, fasisme cenderung bekerja untuk mengolah politik karismatik, yang biasanya dengan seorang tokoh pemimpin sentral, fasisme anti-rasional dan mengemukakan dan menjalankan semacam sosialisme versi fasis, dan menghubungkan dirinya dengan totalitarianisme. Cara melihat fasis kedua, adalah pendekatan Marxis, yang berdiri di atas anggapan bahwa keliru bilamana fasisme hanya dilihat sebagai suatu perangkat ide tertentu. Cara terbaik memahami fasisme adalah bilamana fasisme dilihat sebagai suatu bentuk gerak massa khusus. Fasisme harus dilihat sebagai gerak sosial yang terjadi pada tingkat kapitalisme tertentu. Dalam hubungan itu fasisme harus dilihat dalam beberapa segi berikut ini. Pertama, harus menjadi teori kritis, dalam pengertian tidak cukup dan tidak tepat memakai metode dan ide para pemikir fasis sebagai bagian dari upaya memahami fasisme. Kedua, setiap teori baru harus bersifat interpretif. Studi fasisme dari segi Marxis tidak mengabaikan modal, namun modal disini dilihat sebagai “relasi” dan bukan suatu relasi sederhana akan tetapi suatu “proses”, karena itu definisi pasti hampir tidak mungkin diberikan karena tidak ada unsur “pasti” dan “abadi” akan tetapi selalu terbuka pada perubahan.

Dalam pidato Jose Antonio yang dianggap sebagai pidato cikal bakal partai fasis Spanyol disampaikan:
Fasis bukan taktik-kekerasan. Fasisme adalah suatu ide-kesatuan. Fasisme dilahirkan untuk mengilhami suatu keyakinan (to inspire a faith) bukan dari pihak Kanan (yang dari dasarnya berkeinginan untuk menyimpan segalanya, bahkan yang tidak adil) juga dari pihak Kiri (yang dari dasarnya berkeinginan untuk menghancurkan apa saja, termasuk hal-hal yang baik), akan tetapi keyakinan kolektif, integral, nasional.
Negara fasis tidak diciptakan oleh kemenangan partai yang palin kuat meupun partai yang paling besar, meskipun suatu pemilihan umum bisa juga menyatakan yang lain-lain tetapi kemenangan suatu prinsip tata tertib (the triumph of a principle or order) yang biasa dan diterima semua orang, sentimen nasional yang takkan lekang (a cosntant national sentiment) dan negaralah yang menjadi organnya. Fasisme ditinjau dari akar-akar pemikirannya tergolong unik. Ia seperti dikatakan hayes merupakan percampuran berbagai teori yang paling radikal, reaksioner dan mencakup berbagai ras, agama, ekonomi, sosial, dan moralitas akar-akar filosofis.
Akar-akar filsafat fasisme bisa dilacak dalam pemikiran-pemikiran Plato, Aristoteles, Hegel, Rosenberg, Doriot, Gobinan, Sorel, Darwin, Nietzche, Marinetti, Oswald Spengler, Chamberlin, dan lain-lain. Jadi fasisme memiliki akar-akar intelektual dan filosofis ratusan, bahkan ribuan tahun yang lalu. Dalam bentuknya yang modern dan kontemporer, dan dalam formatnya yang par excellence terjadi ketika Benito Mussolini menguasai Italia (1922), Adolf Hitler dengan nazinya mendominasi Jerman (1933), Franco berkuasa di Spanyol (1936), Tenno Heika memerintah Jepang (1930-an) dan Amerika latin di masa kekuasaan Juan Peron (1950-an)
Taktik yang digunakan oleh semua rezim fasis adalah menyembunyikan sejarah yang benar dari masyarakat, dan menggantikannya dengan pengajaran sebuah versi khayalan yang mereka tulis sendiri. Tujuanmya adalah untuk membangun sebuah budaya di mana pemikiran-pemikiran kaum fasis dapat berkembang dengan pesat, yang memungkinkan mereka menjadi lebih populer dan lebih kuat mengakar dalam masyarakat. Pemahaman tentang sejarah, juga filsafat, sepanjang proses pendidikan diawasi ketat oleh negara fasis. Karena dididik dengan sistem itu, rakyat sama sekali tak menyadari bahwa mereka sedang dicuci otak dalam ideologi fasis, dan bahwa semua pemikiran lain disensor sepenuhnya (Yahya, 29).
Meskipun fasisme bukan merupakan akibat langsung dari depresi ekonomi, sebagaimana teori marxis, tetapi jelas kaum fasis memanfaatkan hal itu. Banyaknya angka pengangguran akibat depresi, melahirkan kelompok yang secara psikologis menganggap dirinya tidak berguna dan diabaikan. Saat hal ini terjadi, maka fasisme bekerja dengan memulihkan harga diri mereka, dengan menunjukkan bahwa mereka adalah ras unggul sehingga mereka merasa dimiliki. Dengan modal inilah, maka fasisme juga memperoleh dukungan dari rakyat lapisan bawah.

C.    DEFINISI FASISME
Ada begitu banyak pendekatan untuk mendefinisikan fasisme, baik sebagai ideologi maupun gerakan politik dalam sejarah. Tidak sedikit rezim yang mengidentikkan diri sebagai fasis, dan mendefinisikan fasisme sendiri sudah terbukti mungkin merupakan bagian dari strategi rezim fasis itu sendiri, walaupun hal itu tentu tidak terjadi dalam ruang kuliah ini. Sejarawan, ahli politik, dan bahkan filsuf seperti Hannah Arendt, Carl Schmitt, Karl Popper, Umberto Eco dan Herbert Marcuse cukup lama berdebat untuk menentukan ‘kodrat’ fasisme dan ajaran-ajaran pokoknya. Sejak 1990-an, sudah ada gerak menuju kesepakatan (konsensus) yang paling tidak tercermin dalam tulisan-tulisan Stanley Payne, Roger Eatwell, Roger Griffin, dan Robert O. Paxton.
Kata fasisme (fascism) berasal dari kata dalam bahasa Italia fascio (bentuk jamaknya: fasci), yang berarti ikatan (bundle) seperti nampak dalam ikatan kelompok (entah politis, ideologis, berdasarkan kelas, dsb.) atau ikatan kolektif seperti bangsa, namun juga berarti fasces (rumput atau akar yang dililitkan mengelilingi sebilah kapak), yang adalah simbol Romawi kuno untuk otoritas hukum (magistrates). Kaum fasis di Italia (The Italian Fascisti) juga dikenal sebagai Kaum Baju Hitam (Black Shirts) karena gaya berpakaian mereka yang berseragam baju berwarna hitam.
Pendapat Leon Trotsky sebagai berikut:
Fasisme adalah suatu sistem pemerintahan khas yang didasarkan pada penghancuran semua unsur demokrasi proletariat di dalam suatu masyarakat borjuis… (Dalam rencananya Fasisme mau) menghancurkan semua organisasi independen dan sukarela, membasmikan semua benteng-benteng pertahanan kaum proletariat…Kamus Merriam-Webster mendefinisikan fasisme sebagai "sebuah filsafat politik, gerakan politik atau rezim (Fascisti) yang mengagung-agungkan bangsa dan cukup sering ras di atas individu dan berjuang untuk mewujudkan pemerintahan yang otokrasi dan tersentral yang dikepalai oleh seorang diktator, dengan mekanisme pengaturan sosial dan ekonomi yang keras terkontrol, dan memakai cara-cara kekerasan untuk menekan lawan politiknya (oposisi)"
Definisi yang cukup baru diajukan oleh Profesor Ilmu Politik dari Columbia University, Robert O. Paxton:
"Fasisme bisa didefinisikan sebagai sejenis perilaku politik yang ditandai dengan hasrat obsesif akan kemerosotan hidup berkomunitas, perendahan, atau viktimisasi dan (hal ini) dikompensasikan dengan pengkultusan kesatuan, energi dan kemurnian, di mana partai berbasis-massa yang terdiri dari orang-orang nasionalis yang militan bekerja sama (kolaborasi) secara efektif dengan elit tradisional, meninggalkan cita-cita kebebasan demokratis, dan mengejar tujuan ke dalam pembersihan dan tujuan ke luar ekspansi, dengan cara-cara kekerasan dan tanpa ada pembatasan-pembatasan etis maupun legal.
Mussolini sendiri mendefinisikan fasisme sebagai ideologi kolektivis berhaluan kanan yang mau melawan sosialisme, liberalisme, demorasi dan individualisme. Dalam Doktrin Politis dan Sosial Fasisme, ia mengatakan:
"Jika abad ke-19 adalah abad sosialisme, liberalisme, demokrasi, itu tidak berarti bahwa abad ke-20 pun harus menjadi abad sosialisme, liberalisme dan demokrasi. Doktrin-doktrin politik akan berlalu, namun bangsa tetap. Kita bebas untuk percaya bahwa ini adalah abad otoritas abad yang cenderung ke ‘kanan,’ abad Fasis. Jika abad ke-19 merupakan abad individu (liberalisme mengasumsikan individualisme) kita bebas untuk percaya bahwa ini adalah abad ‘kolektif’, dan dengan demikian abadnya Negara"
William Ebenstein, dalam Today ISMS (1964) mengatakan bahwa esensi dari fasisme adalah ‘cara mengorganisasi pemerintah dan masyarakat yang bersifat totaliter yang dijalankan oleh kediktatoran partai-tunggal yang sarat dengan kecenderungan nasionalis, rasionalis, militeristik dan imperialis.’ Akan tetapi, secara khusus, Ebenstein juga mengatakan bahwa cara rezim fasis mengelola perekonomian, yang dikenal dengan nama negara korporat (the corporate state) merupakan bagian esensial darinya, yang membedakan rezim ini dengan rezim liberal dan sosialis.
Sejak kejatuhan rezim fasisme Italia, dan NAZI Jerman, juga kegagalan rezim-rezim fasis di berbagai belahan bumi lainnya, istilah ‘fasis’ menjadi olok-olok politik. Teramat jarang ada kelompok politik yang menyebut diri mereka fasis sejak 1945. Dalam diskursus politik kontemporer, pengikut ideologi politik tertentu cenderung mengasosiasikan fasisme dengan posisi musuh atau lawan politik mereka. Jadi, jika mau ditarik garis yang jelas-tegas, fasisme meliputi gerakan dan aliran politik sebelum PD II, gerakan berikutnya menyebut diri sebagai neo-fasis.

D.    AKAR-AKAR PSIKOLOGIS TOTALITERISME
Petunjuk ke arah pemahaman fasisme terletak pada kekuatan dan tradisi masyarakatnya. Di Jerman, Jepang dan Italia, tradisi otoritarianisme sudah menjadi hal yang terjadi berabad-abad. Sehingga munculnya rezim fasis merupakan hal yang biasa. Dengan cara hidup otoriter maka jalan menuju otorianisme hanya menunggu waktunya saja. Munculnya kediktatoran secara politik, ditandai dengan munculnya pemimpin yang menggebu-gebu meraih kekuasaan dan memiliki hasrat yang kuat untuk mendominasi.
Namun demikian antara sang diktator dan fasisme juga dipengaruhi iklim suatu masyarakat. Ada kalanya iklim suatu negara lebih mudah menerima kediktatoran dibandingkan dengan negara lainnya. Jerman, Italia dan jepang mungkin adalah tipekal negara demikian. Adanya gerakan massa yang otoriter dalam fasisme justru ditentukan oleh hasrat banyak orang untuk memasrahkan diri dengan setia. Hal ini tentunya tidak dapat diamati dari sudut pandang rasionalitas. Fasisme ibarat memanfaatkan kondisi psikologis kepatuhan sang anak kepada orang-tuanya. Dengan kepatuhan, maka sang anak akan terlindungi karena memiliki tempat bergantung.
Fasisme juga memiliki ciri untuk menyesuaikan diri dengan praktek kuno yang sudah ada. Mementingkan status dan kekuatan pengaruh, kesetiaan kelompok, kedisiplinan dan kepatuhan yang membabi-buta. Hal ini menyatu dalam membentuk karakter fasis. Sehingga sebagai suatu kesatuan, mereka hanya patuh terhadap perintah tanpa harus mempersoalkan apa dan bagaimananya.
Sebagai cara mempertahankan kesatuan, fasisme juga menciptakan musuh-musuh yang nyata maupun imajiner. Jerman memusuhi yahudi, karena yahudi dianggap ras rendah yang senantiasa mengotori kemurnian ras arya. Memusuhi kaum komunis maupun liberalis-kapital, karena mereka bukan bangsa arya atau indo-jerman. Jika merasa kekuatannya telah cukup untuk tidak sekedar berteori, maka kaum Fasis mulai menunjukkan sifat imperialisnya. Mereka akan menjanjikan kemenangan dalam permusuhan dengan bangsa lain. Kaum fasis senantiasa ingin menunjukkan bahwa mereka lebih unggul dari bangsa atau negara manapun. Nahasnya, apabila fasisme kalah, maka sang pemimpin fasis akan menjadi korban kehancuran rezimnya sendiri. Sejarah mencatat nasib tragis yang dialami Mussolini yang ditembak dan digantung oleh rakyatnya sendiri, setelah sebelumnya Italia mengumumkan kekalahannya dalam perang. Nasib Hitler mungkin sedikit lebih baik, karena ia “mati terhormat” tanpa harus tunduk kepada musuhnya.
Frich Fromm dalam escape from freedom menguraikan teori menarik mengenai konteks psikologis fasisme. Ia berteori bahwa ada kaitan erat antara variabel-variabel ekonomi dengan variabel-variabel psikologis. Karena itu Fromm menolak tesis Fasisme semata-mata muncul sebagai akibat dinamisme, ekonomi, kecenderungan-kecenderungan ekspansif imperialisme-kapitalisme atau penaklukan negara oleh partai tunggal yang didukung kaum industrialis dan The Sunkers. Fromm juga keberatan dengan tesis L. Munford yang menilai fasisme semata-mata sebuah fenomena psikopatologis memiliki asumsi bahwa fasisme tidak lain merupakan sebuah manifestasi mereka yang mengidap penyakit neurotik (neurotic), kegilaan (madness) dan berkepribadian tidak seimbang (mentality unbalanced) (Suhelmi, 2001).
Dalam perang saudara di Spanyol (1936), perang saudara tersebut sebagai batu ujian ke mana perkembangan dari benturan demokrasi dengan fasisme akan bertumbuh. Hasil perang saudara ini menentukan sekali perkembangan politk dunia, dan diuji pula disitu kesadaran demokrasi negara-negara Eropa Barat dan perasaan setia kawan bangsa Eropa Barat terhadap demokrasi di Spanyol. Kemenangan kaum reaksioner di Spanyol berarti juga kemenangan kaum fasis Italia (Mussolini) dan kaum fasis Jerman (Hitler). Dengan kemenangan Jenderal Franco di Spanyol sudah dapat dipastikan demokrasi di Prancis, Belgia, dan Nederland akan menghadapi keruntuhan. Demikian pula di Asia dan Pasifik akan meningkatkan perkembangan kekuatan Supranasionalis, yaitu Fasisme Jepang (Anwar, 2010).

E.     TEORI DAN PRAKTEK FASISME
Tidak seperti komunisme, fasisme tidak memiliki landasan prinsipil yang baku atau mengikat perihal ajarannya. Apalagi dewasa ini dapat dipastikan, bahwa fasisme tidak memiliki organisasi yang menyatukan berbagai prinsip fasis yang bersifat universal. Namun demikian, bukan berarti fasisme tidak memiliki ajaran. Setidaknya para pelopor fasisme meninggalkan jejak ajaran mereka perihal fasisme. Hitler menulis Mein Kampft, sedangkan Mussolini menulis Doktrine of Fascism. Ajaran fasis model Italia-lah yang kemudian menjadi pegangan kaum fasis didunia, karena wawasannya yang bersifat moderat. Menurut Ebenstein, unsur-unsur pokok fasisme terdiri dari tujuh unsur:
Pertama, ketidak percayaan pada kemampuan nalar. Bagi fasisme, keyakinan yang bersifat fanatik dan dogmatic adalah sesuatu yang sudah pasti benar dan tidak boleh lagi didiskusikan. Terutama pemusnahan nalar digunakan dalam rangka “tabu” terhadap masalah ras, kerajaan atau pemimpin.
Kedua, pengingkaran derajat kemanusiaan. Bagi fasisme manusia tidaklah sama, justru pertidaksamaanlah yang mendorong munculnya idealisme mereka. Bagi fasisme, pria melampaui wanita, militer melampaui sipil, anggota partai melampaui bukan anggota partai, bangsa yang satu melampaui bangsa yang lain dan yang kuat harus melampaui yang lemah. Jadi fasisme menolak konsep persamaan tradisi yahudi-kristen (dan juga Islam) yang berdasarkan aspek kemanusiaan, dan menggantikan dengan ideology yang mengedepankan kekuatan.
Ketiga, kode prilaku yang didasarkan pada kekerasan dan kebohongan. Dalam pandangan fasisme, negara adalah satu sehingga tidak dikenal istilah “oposan”. Jika ada yang bertentangan dengan kehendak negara, maka mereka adalah musuh yang harus dimusnahkan. Dalam pendidikan mental, mereka mengenal adanya indoktrinasi pada kamp-kamp konsentrasi. Setiap orang akan dipaksa dengan jalan apapun untuk mengakui kebenaran doktrin pemerintah. Hitler konon pernah mengatakan, bahwa “kebenaran terletak pada perkataan yang berulang-ulang”. Jadi, bukan terletak pada nilai obyektif kebenarannya.
Keempat, pemerintahan oleh kelompok elit. Dalam prinsip fasis, pemerintahan harus dipimpin oleh segelintir elit yang lebih tahu keinginan seluruh anggota masyarakat. Jika ada pertentangan pendapat, maka yang berlaku adalah keinginan si-elit.
Kelima, totaliterisme. Untuk mencapai tujuannya, fasisme bersifat total dalam meminggirkan sesuatu yang dianggap “kaum pinggiran”. Hal inilah yang dialami kaum wanita, dimana mereka hanya ditempatkan pada wilayah 3 K yaitu: kinder (anak-anak), kuche (dapur) dan kirche (gereja). Bagi anggota masyarakat, kaum fasis menerapkan pola pengawasan yang sangat ketat. Sedangkan bagi kaum penentang, maka totaliterisme dimunculkan dengan aksi kekerasan seperti pembunuhan dan penganiayaan.
Keenam, Rasialisme dan imperialisme. Menurut doktrin fasis, dalam suatu negara kaum elit lebih unggul dari dukungan massa dan karenanya dapat memaksakan kekerasan kepada rakyatnya. Dalam pergaulan antar negara maka mereka melihat bahwa bangsa elit, yaitu mereka lebih berhak memerintah atas bangsa lainnya. Fasisme juga merambah jalur keabsahan secara rasialis, bahwa ras mereka lebih unggul dari pada lainnya, sehingga yang lain harus tunduk atau dikuasai. Dengan demikian hal ini memunculkan semangat imperialisme.
Terakhir atau ketujuh, fasisime memiliki unsur menentang hukum dan ketertiban internasional. Konsensus internasional adalah menciptakan pola hubungan antar negara yang sejajar dan cinta damai. Sedangkan fasis dengan jelas menolak adanya persamaan tersebut. Dengan demikian fasisme mengangkat perang sebagai derajat tertinggi bagi peradaban manusia. Sehingga dengan kata lain bertindak menentang hukum dan ketertiban internasional.

F.     MASA KEKUASAAN FRANCISCO FRANCO DI SPANYOL
Pada tahun 1931 pemerintahan Monarki Spanyol jatuh manakala Raja Alfonso XIII turun tahta dan melakukan pengungsian, kemudian pemerintahan beralih kepada pemimpin sayap kiri republik Spanyol (dikenal dengan Republik Kedua) menerima kebijakan untuk mereformasi angkatan bersenjata. Para pemimpin Republik Kedua memberlakukan bentuk reformasi lainnya. Para wanita diberi kesempatan untuk memberikan suaranya. Gereja Katolik tidak diijinkan memasuki sistem pendidikan, dan perceraian dilegalkan. Perekonomian Spanyol dalam posisi stagnan dan pengangguran meningkat sejalan dengan Depresi Besar yang terjadi di dunia. Kaum proletar Spanyol sudah melakukan serangkai usaha-usaha yang heroik semenjak bulan April 1931 untuk mengambil kekuasaan ke dalam tangannya dan menuntun nasib masyarakat. Akan tetapi, partai-partai mereka sendiri (Sosial Demokrat, Stalinis, Anarkis, POUM , masing-masing dengan caranya sendiri beraksi sebagai sebuah rem dan menyiapkan kemenangan Franco (Trotsky, 1938).
Pada tahun 1933 dimana partai-partai konservatif yang dipimpin oleh Konfederasi Spanyol untuk Hukum Otonomi (Confederation Espanola de Derechas Autonomas – CEDA) memperoleh kemenangan untuk mengendalikan republik dalam pemilihan umum pada bulan November dan mulai melucuti reformasi, yang menyebabkan kerusuhan politik di daerah pinggiran dan pusat-pusat industri, Propinsi Catalonia dan Basque, merupakan daerah pendukung reformasi yang besar. Hukum tersebut diserang dan dipimpin oleh partai baru bernama “Falange” (phalanx – red ; kelompok yang mempunyai tujuan bersama). Falange mendukung idealisme-idealisme fasis milik Mussolini dan Hitler. Kemudian pada tahun 1934, Franco diangkat menjadi Mayor Jenderal dan ditempatkan dalam Kementrian Perang. Ia berhasil menumpas sebuah pemberontakan yang dilakukan oleh para pekerja tambang di bagian utara Propinsi Asturias pada bulan Oktober, Ia pun kemudian diangkat sebagai chief-of-staff angkatan bersenjata. Kemudian pada tahun 1936 pemerintahan konservatif dibubarkan.
Pada pemilihan yang dilakukan bulan Februari, koalisi sayap kiri “Front Populer” menang tipis terhadap partai sayap kanan “Blok Nasional” dan mulai menggalakkan program reformasi sosial. Kaum konservatif Spanyol mengkhawatirkan bahwa Front Populer, yang mana mempunyai hubungan dengan Uni Soviet, akan mengubah negara tersebut menjadi negara Komunis. Ketegangan antara kelompok saingan sayap kanan dan sayap kiri mulai memanas. Karena dicurigai sebagai seorang konspirator antirepublik oleh pemerintah sayap kiri, Franco dipindahkan dari staff Jenderal dan diturunkan pangkatnya menjadi Gubernur militer di Pulau Canary. Franco kemudian memutuskan untuk bergabung dengan pemberontakan-pemberontakan penduduk sipil nasionalis yang berkonspirasi dengan militer memiliki rencana menurunkan Front Militer. Kemudian Jenderal-Jenderal membentuk pemerintahan nasionalis. Dilindungi oleh Gereja Katolik, Falange, dan kaum Monarki. Keberadaan pemerintahan pemberontak dengan segera dikenali oleh Jerman dan Italia. Franco kemudian mengumumkan dirinya sebagai ‘generalisimo’ (kepala komandan) dan ‘jefe de estado’ (kepala negara) dari rejim nasionalis pada tanggal 29 September. Ia berseteru meminta bantuan Adolf Hitler dan Benito Mussolini supaya mendukung usahanya dalam perang. Kedua pemimpin fasis tersebut memberikan bantuan personil tentara, kapal induk, tank-tank, dan artileri. Prajurit Republik terdiri dari unit-unit militer. Uni Soviet memberikan dukungan, termasuk senjata dan penasihat-penasihat perang. Sukarelawan-sukarelawan independen dari berbagai penjuru dunia juga datang membantu Republik.
Pada masa perang, pendukung Nasionalis Franco mengalami kemunduran, tetapi pada akhirnya berhasil mengepung pasukan Republik, menggantung puluhan ribu jiwa. Franco mengumumkan bahwa kaum Nasionalis memiliki daftar-daftar 2 juta orang-orang yang masuk dalam daftar atas kekejaman mereka untuk dihukum. Dengan terang-terangan Gereja Katolik pun mendukung Franco. Di medan perang, pasukan Republik juga melakukan kekejaman menargetkan pastor Katolik dan orang-orang yang banyak tahu lainnya karena menentang idealisme-idealisme mereka.
Tanggal 19 April 1937, Franco membentuk Gerakan Nasional hasil restrukturisasi Falange dan menggabungnya dengan kelompok-kelompok Nasionalis lain dan membuatnya menjadi rejim politik angkatan bersenjata. Salah satu aksi kejahatan perang yakni, Jerman mengebom kota Basque tanggal 26 April dan banyak warga sipil terbunuh. Tanggal 28 Agustus, secara resmi Vatikan mengakui rejim Franco. Tanggal 28 Februari 1939 pun secara resmi Inggris dan Prancis mengakui rejim Franco. Tanggal 28 Maret, kaum Nasionalis mengambil alih Madrid. Tanggal 1 April, perang sipil berakhir, Franco benar-benar telah mennag tanpa syarat. Lebih dari 500.000 jiwa diperkirakan tewas selama konflik tersebut dan banyak infrastruktur Spanyol rusak. Populasi dikurangi oleh gelombang pengungsi Republik 250.000-500.000 jiwa keluar Spanyol untuk mencari negara yang aman.
Ideologi Franco dikenal sebagai “Falangisme”. Istilah tersebut datang dari kata “Falange” (atau Falange Espanola Tradicionalista Y De Las Juntas De Ofensiva Nacional-Sindicalista, lengkapnya) yang didirikan pada tahun 1933. Partai ini didirikan oleh ideolog fasis bernama Jose Antonio Primo de Rivera, meniru fasisme Italia, dan berlawanan dengan demokrasi, Undang-Undang, gerakan kiri dan Gereja. Kenyataannya, kata “Falange” (Tulang jari dalam bahasa Spanyol) adalah konsep perang yang diambil dari budaya pagan. Nama tersebut merujuk kepada pengaturan resimen tentara, sebagaimana pertama kali dipraktikkan di Sumeria kuno, dan kemudian di Yunani dan Romawi kuno. Jendral Franco, komandan tentara Spanyol saat itu, memegang kendali partai Falange di tahun 1936, ketika perang saudara meletus sebagai akibat dari pertarungan antara kelompok kanan dan kiri di negara itu. Namun, ia memperlunak pendirian anti-agama partai tersebut, dalam upaya untuk membuat jenis fasismenya tampak sesuai dengan agama (Yahya, 67).
Franco sebagai pemimpin, dengan cepat memaksakan perintah, menumpas siapa saja yang berpotensi mengancam rejim barunya. Hingga tahun 1948, Spanyol tetap berdiri sebagai negara dengan hukum yang gagah perkasa. Ratusan bahkan ribuan orang-orang republik dipenjarakan dan dibunuh langsung. Kritikan dianggap sebagai pengkhianatan, partai politik dilarang, hak memilih ditiadakan, dan Geraja Katolik dikembalikan sebagai agama resmi Spanyol. Pernikahan sipil dilarang, perceraian dan aborsi dinyatakan ilegal, dan pendidikan agama wajib diberikan di sekolah. Perundang-undangan reformis yang diajukan orang-orang Republik dicabut. Pemogokan kerja dilarang. Media massa diberangus, dan tindakan-tindakan penghibahan otonomi terhadap Propinsi Catalonia dan Basque disisihkan.
Spanyol menjadi sebuah gurun kebudayaan, karena para artis dan intelektual diusir dengan paksa atau dibungkam dengan penyensoran. Penggabungan-penggabungan perdagangan dihancurkan dan dana serta properti disita. Franco kemudian mengajukan “Nuevo Estado” (negara baru), sebuah sistem yang berdasarkan pada ide-ide fasis dimana menaruh kesetiaan yang tidak diragukan lagi. Nuevo Estado di legitimasi ketika ia menerima dukungan dari Gereja Katolik.
Franco tetap menjaga Spanyol untuk tidak terlibat langsung dalam konflik perang dengan tidak mengirimkan pasukannya bersama jerman ke Front Timur pada PD II. Spanyol pada masa itu dilihat sebagai sebuah negara buangan oleh seluruh dunia. Franco dilihat sebagai “diktator terakhir yang masih hidup”. Spanyol tidak mendapat bantuan dari Program Penyembuhan Perekonomian –Marshall Economic recovery Program dan tidak diijinkan menjadi anggota PBB dan Organisasi Pakta Pertahanan Atlantik Utara – North Atlantic Treaty Organization (NATO). Keadaan perekonomian Spanyol pun menjadi stagnan dan Spanyol berada pada isolasi intenasional.
Tetapi pada Perang Dingin, Franco mulai terlihat sebagai seorang antikomunis berpotensi yang bersekutu dengan negara-negara Barat. Pada tahun 1947, sebagai akibat Referendum, monarki diberlakukan lagi. Ia menjadi wali raja pilihan raja. AS meneruskan hubungan diplomatik dengan pemerintah Spanyol dan mulai memberikan bantuan dana . Hingga akhirnya tahun 1955 Spanyol kembali diakui PBB. Tahun 1958 Spanyol bergabung dengan OECD (Organisasi untuk Pembangunan dan Kerjasama Ekonomi) dan IMF (Dana Moneter Internasional). Sedangkan tahun 1960, perekonomian Spanyol tumbuh secara spektakuler, seperti negeri industri, dimodernisasikan dan Spanyol menjadi sebuah tujuan wisata terkenal. Di saat yang sama, perasaan tidak puas dan kecaman semakin vokal, namun Franco menanggapinya dengan sedikit mengendurkan kontrolnya. Antagonisme kelas yang membawa kemenangan fasisme dan yang masih tetap berpengaruh di bawah fasisme, sekarang secara perlahan-lahan melemahkan fasisme. Massa semakin merasa tidak puas. Di bawah kondisi fasisme, ratusan dan ribuan pekerja mengorbankan dirinya untuk tetap melanjutkan kerja revolusioner secara ilegal. Sebuah generasi yang baru, yang belum pernah mengalami secara langsung hancurnya tradisi-tradisi yang lama dan hancurnya harapan yang tinggi, telah maju ke depan. Secara tidak terelakkan, persiapan revolusi proletar tetap berlanjut di bawah batu nisan sistem totaliter yang berat. Tetapi, supaya energi terselubung ini dapat meledak menjadi pemberontakan terbuka, adalah perlu bagi kaum pelopor kelas proletar untuk menemukan perspektif yang baru, program yang baru, dan panji baru yang belum ternoda. Letak kelemahan utamanya adalah sangat sulit bagi kaum pekerja di negara-negara fasis untuk menentukan program yang baru. Sebuah program diverifikasi oleh pengalaman. Bila front ini berhasil terbentuk, ini hanya akan menyiapkan rentetan kekalahan-kekalahan yang baru bagi kaum proletar, membeberkan secara tegas teori dan prakter “Front Rakyat” ini adalah kondisi utama untuk perjuangan revolusioner melawan fasisme. Sebuah program revolusioner haruslah berdasarkan dialektika perjuangan kelas dan bukan berdasarkan psikologi para pemimpin yang bangkrut dan ketakutan; ini wajib pula di negara-negara fasis.
Pada tahun 1973, Franco mengundurkan diri sebagai pemimpin pemerintahan, tetapi masih tetap menjabat kepala negara, kepala komandan angkatan bersenjata, dan ketua Gerakan Nasional. Namun oposisi terhadap rejim ini terus meningkat. Pemogokan-pemogokan menyebar di seluruh negeri. Universitas-universitas dalam keadaan kacau. Aktivitas teroris Basque semakin meningkat melihat pemerintah menempatkan Propinsi Basque berada di bawah hukum militer di bulan April 1975. Akhirnya 20 November 1975, Franco meninggal dunia. Kemudian Raja Juan Carlos I mulai melucuti institusi-institusi otoriter di masa rejim Franco dan memberi semangat pemulihan partai-partai politik. Setelah 3 tahun Franco meninggal, Spanyol menjadi negara monarki berkonstitusi yang demokratis. Setelah puluhan tahun dipimpin penguasa fasis, kebangkitan demokrasi kini memberi tenaga bagi Spanyol. Sebelum periode Franco, sebagaimana dikatakan Diley, “pada abad ke-18 dan ke-19, (Spanyol) berpegangan pada definisi Kontra-Reformasi mengenai dirinya sendiri.Spanyol menjadi negara antimodern, otokratis, dan ortodoks” Aktivitas masa kini “merupakan sebuah upaya serius oleh berbagai kota Spanyol untuk mengatasi jarak di antara mereka dan negara lain di dunia Spanyol masa kini secara dramatis bergerak lebih cepat daripada negara lain (Naisbit, 2007).
Pada akhirnya fasisme di Spanyol justru tumbang secara konstitusional dengan tahap kompromi yang lebih lunak. Dalam hal ini kelompok monarki Raja Juan Carlos memainkan hal yang penting, dan ternyata rakyat Spanyol juga tidak terlampau bereaksi karena perubahan yang ada. Lambat laun, Spanyol memasuki system liberalisme dan menjadi bagian masyarakat eropa. Peralihan kekuasaan secara tertib kepada pemerintah sayap kiri merupakan bukti adanya stabilitas politik yang baru di Spanyol serta daya tahan yang kuat bagi kelangsungan hidup rejim yang demokratis.





DAFTAR PUSTAKA
Afiyanti, Windy.2006. The Mass Killers of the Twentieth.Yogyakarta: Narasi
Anwar, Rosihan (Ed). 2010. Mengenang Syahrir.Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Dhakidae, Daniel.2003. Cendikiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru.Jakarta: PT.
     Gramedia Pustaka Utama
Ebenstein, William dan Edwin Fogelman.2006. Isme-Isme Dewasa Ini, penerjemah: Alex
     Jemadu, Jakarta: Erlangga
Naisbit, John. 2007. Mind Set!.Jakarta: Daras Bodas
Suhelmi, Ahmad. 2001. Pemikiran Politik Barat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Yahya, Harun. Menyingkap Tabir Fasisme.

0 komentar: